Thursday 6 September 2007

NAGASASRA dan SABUK INTEN 122

 
Karya SH Mintarja


MENDENGAR pertanyaan itu segera Mahesa Jenar menjawab, Orang itu memakai kedok kayu yang kasar.

Betul..., kau betul. Pasingsingan itu mungkin berwajah bopeng sehingga ia malu menampakkan wajahnya. Kami sahabat-sahabatnya pun belum pernah mengenal wajahnya yang asli. Dan batu merah yang disebutnya akik Kelabang Sayuta itu benar-benar miliknya. Tetapi..., Titis Anganten berhenti sebentar, lalu melanjutkannya, Aneh kalau ia termasuk aliran hitam.


Menurut Ki Ageng Pandan Alas, beliau meragukan keaslian Pasingsingan itu, sahut Mahesa Jenar.

He...? kembali Titis Anganten terkejut. Mungkin..., mungkin. Tetapi setan mana yang berani mengaku Pasingsingan itu? Pasti ia termasuk dalam tingkatan orang tua itu pula. Kalau tidak, barangkali umurnya tidak akan lebih dari satu hari saja.


Titis Anganten berhenti berbicara. Tampaklah ia sedang berpikir.

Lalu tiba-tiba katanya, Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, pulanglah kalian. Sebaiknya Kakang Sora Dipayana segera diberi tahu mengenai kehadiran Sima Rodra. Perkara Pasingsingan biarlah diurus oleh Pandan Alas, yang sudah tidak punya urusan apa-apa lagi kecuali bertanam jagung. Ya, memang ia suka menanam jagung sejak muda. Itulah pokok makanannya. Ia sama sekali tidak pernah makan beras.


Kemudian terdengarlah Titis Anganten itu tertawa. Lalu sambungnya, Kalau Kakang Sora Dipayana sudah tahu, selesailah tugasku. Aku ingin melanjutkan perjalanan ke barat, mumpung aku sudah sampai di sini. Aku ingin mengunjungi Kakang di Gunung Slamet.

Tetapi tidakkah Tuan hendak singgah di rumahku? sahut Gajah Sora. Dan mungkin Tuan akan dapat bertemu dengan ayah. Barangkali pertemuan itu dapat menggembirakan ayah.


Titis Anganten menggelengkan kepalanya. "Pertemuan semacam itu selalu menjadi pembicaraan orang. Apalagi di daerah yang sedang ribut ini. Katakanlah bahwa aku akan datang besok kalau aku akan pulang ke Banyuwangi. Ketahuilah bahwa di sini segala sesuatu tak dapat dirahasiakan kalau kita tidak melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sekarang, aku sudah lelah setelah bersembunyi beberapa hari mengintip Sima Rodra. Nah selamat berpisah. Salam buat ayahmu Gajah Sora, katanya.


Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak sempat lagi untuk mengatakan sesuatu, sebab segera Titis Anganten melangkah pergi menyelinap diantara dedaunan, dan hilang ditelan gelap. Tinggallah kini Gajah Sora dan Mahesa Jenar, yang segera teringat kepada pekerjaannya. Karena itu segera mereka pun melanjutkan perjalanan.

Makin cepat mereka sampai ke Banyubiru, makin amanlah keris yang dipertaruhkannya itu.


Sampai di Sarapadan, segera mereka memotong jalan ke Bergota. Mereka berjalan dengan cepat tanpa berhenti. Sebab bagaimanapun kemungkinan Sima Rodra akan menyusul mereka masih tetap ada, meskipun Titis Anganten telah mengatakan bahwa untuk sementara mereka dapat merasa aman.
Demikianlah mereka berjalan tanpa berhenti, sehingga pada hari berikutnya, ketika matahari sudah condong ke barat, mereka dengan selamat sampai ke Banyubiru.
Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah segera berhenti memandang ke arah Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari menyambut kepala daerah perdikan mereka.
Segera jalan-jalan yang akan mereka lewati menjadi ramai. Mereka menyambut dengan tulus dan bangga atas kepala daerah mereka, yang mereka taati. Tetapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui bahwa kepala daerah mereka itu baru saja menyelesaikan suatu pekerjaan yang hampir membawa nyawanya.
Beberapa orang yang berdiri di tepi jalan itu bersorak-sorak ramai sekali, tetapi ada pula yang berbisik, Dari manakah Ki Ageng Gajah Sora itu...? Dan siapakah kawan seperjalanannya itu...?

Tampaklah kesibukan yang luar biasa. Hal ini disebabkan tak seorang pun dari penduduk Banyubiru yang mengetahui bahwa Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan kota. Tiba-tiba mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.

Mahesa Jenar menyaksikan sambutan rakyat yang meriah itu dengan hati yang berdebar-debar. Tampaklah betapa Ki Ageng Gajah Sora memiliki sifat kepemimpinan yang tinggi, sehingga rakyatnya sangat mencintainya.

Di kiri kanan jalan, di balik pagar manusia yang menyambutnya, tampaklah halaman-halaman yang luas-luas dan bersih. Dan di atas halaman-halaman itu berdiri rumah-rumah yang besar dan bagus. Hal itu memberi pertanda bahwa Banyubiru tergolong daerah yang bercukupan.

Apalagi ketika Mahesa Jenar menyaksikan bahwa pada umumnya lumbung-lumbung mereka sama sekali tak berdinding, malahan ada yang bentuknya hanya seperti payung yang berdaun lebar. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa daerah itu merupakan daerah yang aman dan makmur.

 Sumber
http://www.gajahsora.net/nagasasra_025.html

No comments: